Teknologi Online: Senjata Bermoncong Dua

Saat ini, tidak sulit untuk menemukan, khususnya di kota, orang-orang menatap monitor computer dan handphone (HP) sembari memainkan jarinya ditombol terhubung ke dunia maya, internet. Tidak sekedar browsing atau membaca berita, akan tetapi mereka juga meng-update status di situs jejaring sosial (seperti facebook, Twitter, MySpace, dan lain-lain) dan meng-upload (mengungah) foto, film, artikel, undangan dan iklan. Bak barang obral, murah dan banyak penikmat. Hasil revolusi teknologi satu ini telah menembus sekat-sekat jarak, waktu, bahkan klas. Ia bagian senjata kebudayaan imperialis tapi bisa menjadi senjata makan tuan.

Masyarakat Indonesia yang kini berjumlah sekitar 230 juta jiwa, 80 juta pengguna diantaranya sudah memanfaatkan teknologi internet. Namun, dari jumlah tersebut ada sekitar 70 juta pengguna yang merupakan pelanggan internet mobile. Karena itu Indonesia merupakan salah satu negeri pengguna internet terbesar dari total sekitar dua milyar di seluruh dunia. Sementara untuk pengguna facebook di Indonesia menempati posisi ketiga tertinggi di dunia dengan 43,06 juta pengguna pada 2012. Jumlah ini di bawah Amerika Serikat (AS) yang sebesar 156 juta lebih. Sedangkan twitter, Indonesia posisi kelima terbesar di dunia dengan jumlah pengguna 19,5 juta.

Karena itu, AS tergiur terhadap data tersebut dan memanfaatkannya untuk kepentingan propaganda politik, ekonomi dan kebudayaan. Bahkan, menurut bocoran Wikileaks, AS rela menggelontorkan dana US$100 ribu demi tiga strategi promosi kedatangan Presiden Obama ke Indonesia dengan menggunakan jejaring sosial dan telepon seluler. Pertama, Pemanfaatan jumlah iklan langsung melalui facebook yang mampu menjaring 300-400 penggemar baru di halaman facebook Kedutaan AS yang memiliki penggemar 386.106 orang hingga tulisan ini diturunkan. Kedua, mencari informasi lebih banyak dengan menggunakan iklan di portal, YouTube, Twitter dan mengelar kontes berhadiah serta pesan pendek (SMS). AS mengerti detil keuntungan dari 100 juta lebih penduduk Indonesia adalah pengguna HP. Ketiga, menyewa ahli sebagai agen pemasaran digital lokal.

Intensifnya penggunaan internet dan jejaring sosial oleh imperialis AS ini menunjukkan cara ini telah digunakan sebagai salah satu senjata kebudayaan untuk mempropagandakan berbagai kebijakan maupun kepentingan-kepentingan politiknya serta untuk menangkis dan melawan seluruh propaganda anti AS.

Agresi AS di Dunia Maya

Demi tujuan untuk melawan propaganda anti AS, pemerintah imperialisme AS telah menggelontorkan dana 200 juta Dollar Amerika dalam perang dunia maya. Mereka membuat ratusan akun (account) palsu dengan menggunakan software (perangkat lunak) Sock Puppet yang memiliki kemampuan memanipulasi akun blog dan jejaring sosial, seperti facebook.

Sementara, Pusat Komando Militer AS (Centcom) menunjuk Nterpid untuk menciptakan software demi kepentingan militer dan kepentingan perusahaan multinasional untuk pembentukan opini publik. Uji coba yang telah dilakukan adalah terhadap situs-situs pro Al Qaeda. Indonesia juga menjadi bagian dari sasaran operasi ini.

Untuk operasi itu, tahun lalu Dubes Amerika untuk Indonesia Centcom berpusat di Macdill Florida. Setiap user akun palsu dilengkapi dengan latar belakang biografi yang menyakinkan banyak orang. Alamat IP (identity personal) dibuat acak, station computer dijamin anti virus dan personil user dijamin kerahasiaannya oleh militer Amerika. Software Sock Puppet menangani penciptaan akun ganda, bahasa komunikasi, acak IP address, dan manipulasi identitas.

Agen intelijen Amerika Serikat (CIA) tak ragu-ragu merogoh kocek melalui perusahaan miliknya yang bernama In-Q-Tel untuk membayar ke perusahaan Visible Technologies. Tujuan investasi ini ialah pengembangan software yang mampu mengawasi situs jejaring sosial, Twitter dan facebook, dan situs-situs lainnya yakni YouTube, Amazon dan blog. Sebelumnya, Visible telah memantau posting dan interaksi pengguna di blog, forum online dan situs-situs lainnya. Militer AS juga memiliki sekitar 15 ribu tenaga yang terdiri dari insinyur, psikolog dan pakar dari semua bidang itu.

Apa latar belakang investasi besar itu? Mereka mengkhawatirkan situs-situs tersebut digunakan sebagai ajang diskusi, propaganda dan kampanye anti AS. Di sisi lain, mereka menggunakan alat-alat itu untuk menyebarkan opini, informasi palsu dan black propaganda sebagai provokasi dalam menggulingkan rezim-rezim di Afrika Utara dan Libya.

Cukup cara itu? Tentu tidak. Ia berusaha menghimpun langsung pengguna-pengguna jejaring sosial dalam event-event tertentu dan lembaga kebudayaan yang dimiliki, seperti @America. Aktivitas kopdar (kopi darat) digunakan untuk membidik pengguna jejaring sosial, seperti facebook, yang jumlahnya besar di Indonesia yang menjadi sasaran propaganda tentang AS. Inilah yang dilakukan Pusat Kebudayaan AS telah menginvestasikan dana awal US$ 5 juta dan US$ 3 juta dana tahunan untuk mengoperasikan @America, yang berdiri Desember 2010, dan menjaring kaum muda berumur 15-30 tahun yang merupakan kelompok umur pengguna terbesar facebook dan Twitter.

Mereka menyebut @ America sebagai “generasi baru pertama Pusat Kebudayaan Amerika”. Di lembaga kebudayaan yang berlokasi di mall mewah dan penjagaan super ketat, Pasific Place Jakarta, pengunjung dapat menikmati teknologi tinggi versi terbaru Google Earth (Liquid Galaxy) dan iPad, serta teknologi terbaru lainnya. Di situ juga, pengunjung dapat menikmati situasi nyaman sambil membaca koran baru media Amerika, berdiskusi, belajar tentang kehidupan kampus di AS, dan bertemu serta berbicara langsung dengan anggota Kongres AS. Tentu ini ‘angin sorga’ bagi orang yang tak mengerti di balik tujuan-tujuan propaganda dan kampanye muka manis imperialis.

Contoh tadi baru salah satu cara AS dari sekian banyak teknik propaganda dan kampanye yang diselipkan atau vulgar sekali pun. Mereka mempelajari dan memahami benar situasi kongkret rakyat, termasuk psikologisnya, sebagai bahan pekerjaan politik dan kebudayaannya. Bagi imperialis AS, investasi pada pendidikan dan kampanye kebudayaan sangat efektif dan strategis menciptakan tenaga-tenaga yang siap melaksanakan visi global abad 21 ini. Ini tertuang dalam Kerjasama Kemitraan Komprehensif AS-Indonesia, tahun 2010, mengenai kerja sosial-budaya, pendidikan, sains dan teknologi yang memuat butir program beasiswa, pertukaran siswa dan guru/dosen /ilmuwan, penelitian bersama, kerjasama dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sementara itu pengguna internet di Indonesia meliputi seluruh klas, bahkan tani juga, meski pun pengguna terbesar banyak dari kalangan berlatarbelakang borjuasi kecil dan menengah. Kebutuhan atas teknologi itu dilatarbelakangi kepentingan yang berbeda-beda, seperti: bisnis dan kerja, berita dan informasi, studi, surat menyurat, hiburan, membangun relasi, bahkan propaganda dan kampanye.

Seluruh server, provider, pemilik portal dikuasai oleh korporatkorporat besar yang dikuasai asing dan borjuasi komprador yang mengontrol penuh atas isi dan penggunaanya. Dapat disimpulkan, mayoritas user dari kalangan rakyat mendapatkan content atau isi propaganda klas penghisap dan penindas melalui berita, informasi, opini, iklan, dan sebagainya.

*** b@tursor

Tinggalkan komentar